Rabu, 17 Oktober 2007

Kuta, Kampung yang Jadi Jantung Pariwisata Bali

KCM/Egidius Patnistik
Sunset: Matahari terbenam atau sunset merupakan salah satu pemandangan terindah yang dinantikan-natikan turis di Pantai Kuta
Kuta, Bali di akhir tahun 1960-an masih merupakan kampung nelayan dan petani yang sepi. Warganya menggantungkan hidup pada hasil ladang dan tangkapan ikan yang tidak seberapa karena semua dikerjakan secara tradisional.

Lalu serombongan turis datang mendirikan tenda dan bermalam di Pantai Kuta. Dari waktu ke waktu jumlah mereka bertambah banyak. Para pelancong ini butuh toilet, kamar mandi, makan dan berbagai kebutuhan lain di rumah-rumah penduduk.

Penduduk setempat yang masih sangat sederhana itu kelabakan menghadapi orang-orang asing tersebut. "Tiba-tiba saja muncul hippies nginap di pantai."

Mereka masuk ke rumah penduduk cari toilet dan kamar mandi. Penduduk di sini awalnya bingung. Tidak tahu bagaimana caranya menerima turis-turis itu. Penduduk hanya punya toilet dan kamar mandi seadanya, bahkan banyak yang tidak punya. "Tetapi lama-kelamaan berdasarkan pengalaman dan diajari para turis juga, warga akhirnya tahu apa yang harus dilakukan," tutur Kepala Desa Adat Kuta, Made Windra, di Legian, Kuta, Bali, akhir pekan lalu.

Kisah tentang keindahan Pantai Kuta dan pesona Bali yang eksotik dan magis tersebar dari mulut ke mulut hingga menyebar ke mancanegara. Turis dari berbagai penjuru angin berdatangan dan menjadikan Bali sebagai tujuan utama untuk berlibur. Apa lagi di era 1980-an, saat pariwisata mulai menjadi industri yang menggiurkan.

***

KCM/Egidius Patnistik
Kosong: Pantai Kuta yang biasanya dipenuhi turis berjemur diri, kini kosong seperti terlihat pada gambar yang diambil Minggu (20/10), atau delapan hari setelah pemboman di Jalan Legian, Kuta.
Kawasan Kuta pun mempercantik diri. Kuta dengan Jalan Legian dan Jalan Pantai Kuta sebagai jalan utama mentransformasi diri menjadi "kampung metropolis". Disebut kampung karena dari sisi tata ruang, Kuta tetap lah sebuah kampung dengan permukiman penduduk yang padat. Rumah berdempetan dengan gang kecil yang sempit dan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua.

Tetapi di Kuta orang bisa bertemu dengan orang dari berbagai bangsa, dari Australia (terbanyak), Eropa (Barat, Utara, Skandinavia) Amerika (Utara dan Latin), Afrika dan Asia (Jepang, Korea, Filipina). Di sini mereka bertemu, berbaur dengan penduduk yang menyediakan penginapan dan makanan.

Petani dan nelayan tidak ada lagi. Kuta saat ini adalah hotel, losmen, restoran, toko suvenir, toko pakaian, pub, diskotik, bar, kantor bank, pusat perbelanjaan dan berbagai jenis sarana dan fasilitas pendukung pariwisata lainnya.

Yang ada kini adalah pengelola atau pekerja penginapan, restoran atau toko suvenir. Kalau pun masih ada nelayan, mereka telah menjadi penyedia jasa bagi para turis yang hendak surfing. "Istilahnya, mereka tetap jadi nelayan tetapi tidak untuk menangkap ikan. Menjadi nelayan untuk bersenang-senang, just for fun, tetapi dapat uang," kata Agung Oke, pemuda Kelurahan Kuta.

Dengan suasana kampung yang kental, sudah pasti Kuta memiliki karakter tamu tersendiri. Turis-turis Kuta rata-rata adalah mereka yang berkantung pas-pasan, senang bertualang dan menyukai kehidupan malam. Di Kuta banyak penginapan bertarif puluhan ribu dan makanan dengan harga ribuan rupiah.

KCM/Egidius Patnistik
Legian: Jalan Legian merupakan salah satu urat nadi perekonomian Kuta. Sebelum pemboman, kawasan ini ramai dikunjungi turis yang hendak belanja suvenir atau sesuatu yang khas Bali.
Berbeda misalnya dengan Nusa Dua yang serba wah. Nusa Dua merupakan kawasan hotel berbintang lima yang terisolir dari penduduk sekitar. Tamu-tamunya dari kalangan atas dengan kantung tebal. Atau Sanur yang disukai orang-orang yang ingin menikmati ketenangan dan keheningan. Di Sanur, kehidupan telah mati setelah jam 10.00 malam, sebaliknya di Kuta kehidupan justru dimulai saat itu.

Selain pantainya yang indah dan selalu dijelali turis setengah telanjang berjemur diri, Kuta juga menjadi pusat hiburan malam Bali. Diskotik, bar, pub semua ada di sini, sebut saja Sari Club dan Padys yang kini tinggal nama karena telah porak-poranda akibat ledakan bom Sabtu (12/10) lalu itu. Masih ada Bounty, Apache, Hard Rock dan Musro. Praktis kawasan ini hidup 24 jam.

Sari Club dan Padys merupakan dua tempat paling padat dikunjungi, bahkan keduanya hanya membolehkan turis asing yang masuk. Selain bergoyang dan menikmati musik, tempat-tempat ini juga menjadi surga para penikmat minuman beralkohol. "Di Sari Club sering ada drinking competition," tutur Yudi Erlangga, guide freelance untuk Bali Mas Holiday yang sering mengantar tamu ke tempat itu.

***

Semua itu cerita sebelum ledakan bom yang menewaskan sedikitnya 185 orang di Jalan Legian itu. Suasana duka dan kemurungan masih mewarnai kawasan itu hari-hari ini. Sebagian Jalan Legian, belasan meter dari lokasi ledakan, masih tertutup untuk umum, sampai penyelidikan polisi untuk mengungkap kasus tersebut dinyatakan selesai. Tumpukan bunga dan bentangan kain putih berisi tanda tangan ungkapan rasa simpati masih terlihat.

Namun masa berkabung ada batasnya dan hidup toh harus terus bergulir. Maka toko-toko di luar garis polisi (police line) pun sudah mulai dibuka. Sedangkan yang mengalami kerusakan mulai berbenah diri dengan memperbaiki tembok yang retak atau runtuh, mengganti kaca yang pecah dan genteng yang jebol.

KCM/Egidius Patnistik
Tertutup: Tempat kejadian perkara (TKP) masih ditutup untuk umum. Tempat itu baru bisa dibuka 15 November mendatang setelah masyarakat setempat melakukan upacara adat.
"Kita sudah siap buka lagi, tetapi harus tunggu keputusan dari polisi," kata General Manager Circle K (CK), Gusti Ngurah Biasama. Dua unit toko CK, mini market yang merajai Bali, mengalami kerusakan dalam peristiwa pemboman itu dan satu unit masih berada dalam garis polisi.

Haji Bambang, tokoh masyarkat Kuta mengatakan, ia mengalami dilema. "Di satu sisi polisi mengatakan tempat ini harus ditutup demi tujuan penyelidikan agar kasus itu bisa terungkap. Di sisi lain warga terus bertanya, kapan tempat ini di buka lagi," katanya.

Sudah banyak turis meninggalkan Bali. Tidak ada yang tahu entah kapan mereka kembali. Sudah banyak pula yang menangguhkan kunjungannya ke Pulau dewata itu. Kuta, khususnya Jalan Legian, dalam sepekan terakhir memang banyak dikunjungi orang, terutama mereka yang hendak memberi tanda simpati bagi korban yang meninggal atau sekedar melihat lokasi ledakan.

Entah kalau semua itu telah usai. "Saya tutup satu hari saja. Setelah itu buka lagi. Kalau siang sih ramai karena banyak orang yang datang lihat lokasi ledakan tetapi coba jam enam sore ke atas. Daerah ini sudah seperti kuburan, sepi sekali," tutur seorang pemilik toko perak di Jalan Legian. (Egidius Patnistik)

diambil dari Kompas.com

Tidak ada komentar: